CARA BERPERILAKU SELALU BAIK DAN BENAR UNTUK REMAJA...
ini ada artikel yang bisa dibaca para Remaja yang bersumber dari http://www.sekolahindonesia.com/sidev/NewDetailArtikel.asp?iid_artikel=13&cTipe_artikel=3
Perilaku Menyimpang Remaja dan Solusinya
Masalah Remaja Di Sekolah Remaja yang masih sekolah di SLTP/ SLTA
selalu mendapat banyak hambatan atau masalah yang biasanya muncul dalam
bentuk perilaku. Berikut ada lima daftar masalah yang selalu dihadapi
para remaja di sekolah.
Perilaku Bermasalah (problem behavior). Masalah
perilaku yang dialami remaja di sekolah dapat dikatakan masih dalam
kategori wajar jika tidak merugikan dirinya sendiri dan orang lain.
Dampak perilaku bermasalah yang dilakukan remaja akan menghambat dirinya
dalam proses sosialisasinya dengan remaja lain, dengan guru, dan dengan
masyarakat. Perilaku malu dalam dalam mengikuti berbagai aktvitas yang
digelar sekolah misalnya, termasuk dalam kategori perilaku bermasalah
yang menyebabkan seorang remaja mengalami kekurangan pengalaman. Jadi
problem behaviour akan merugikan secara tidak langsung pada seorang
remaja di sekolah akibat perilakunya sendiri.
Perilaku menyimpang (behaviour disorder).
Perilaku menyimpang pada remaja merupakan perilaku yang kacau yang
menyebabkan seorang remaja kelihatan gugup (nervous) dan perilakunya
tidak terkontrol (uncontrol). Memang diakui bahwa tidak semua remaja
mengalami behaviour disorder. Seorang remaja mengalami hal ini jika ia
tidak tenang, unhappiness dan menyebabkan hilangnya konsentrasi diri.
Perilaku menyimpang pada remaja akan mengakibatkan munculnya tindakan
tidak terkontrol yang mengarah pada tindakan kejahatan. Penyebab
behaviour disorder lebih banyak karena persoalan psikologis yang selalu
menghantui dirinya.
Penyesuaian diri yang salah (behaviour maladjustment).
Perilaku yang tidak sesuai yang dilakukan remaja biasanya didorong oleh
keinginan mencari jalan pintas dalam menyelesaikan sesuatu tanpa
mendefinisikan secara cermat akibatnya. Perilaku menyontek, bolos, dan
melangar peraturan sekolah merupakan contoh penyesuaian diri yang salah
pada remaja di sekolah menegah (SLTP/SLTA).
Perilaku tidak dapat membedakan benar-salah (conduct disorder).
Kecenderungan pada sebagian remaja adalah tidak mampu membedakan antara
perilaku benar dan salah. Wujud dari conduct disorder adalah munculnya
cara pikir dan perilaku yang kacau dan sering menyimpang dari aturan
yang berlaku di sekolah. Penyebabnya, karena sejak kecil orangtua tidak
bisa membedakan perilaku yang benar dan salah pada anak. Wajarnya, orang
tua harus mampu memberikan hukuman (punisment) pada anak saat ia
memunculkan perilaku yang salah dan memberikan pujian atau hadiah
(reward) saat anak memunculkan perilaku yang baik atau benar. Seorang
remaja di sekolah dikategorikan dalam conduct disorder apabila ia
memunculkan perikau anti sosial baik secara verbal maupun secara non
verbal seperti melawan aturan, tidak sopan terhadap guru, dan
mempermainkan temannya . Selain itu, conduct disordser juga
dikategorikan pada remaja yang berperilaku oppositional deviant disorder
yaitu perilaku oposisi yang ditunjukkan remaja yang menjurus ke unsur
permusuhan yang akan merugikan orang lain.
Attention Deficit Hyperactivity disorder, yaitu
anak yang mengalami defisiensi dalam perhatian dan tidak dapat menerima
impul-impuls sehingga gerakan-gerakannya tidak dapat terkontrol dan
menjadi hyperactif. Remaja di sekolah yang hyperactif biasanya mengalami
kesulitan dalam memusatkan perhatian sehingga tidak dapat menyelesaikan
tugas-tugas yang diberikan kepadanya atau tidak dapat berhasil dalam
menyelesaikan tugasnya. Jika diajak berbicara, remaja yang hyperactif
tersebut tidak memperhatikan lawan bicaranya. Selain itu, anak
hyperactif sangat mudah terpengaruh oleh stimulus yang datang dari luar
serta mengalami kesulitan dalam bermain bersama dengan temannya.
Peranan Lembaga Pendidikan Untuk tidak segera mengadili dan menuduh
remaja sebagai sumber segala masalah dalam kehidupan di masyarakat,
barangkali baik kalau setiap lembaga pendidikan (keluarga, sekolah, dan
masyarakat) mencoba merefleksikan peranan masing-masing.
Pertama, lembaga keluarga adalah lembaga pendidikan yang utama dan pertama.
Kehidupan kelurga yang kering, terpecah-pecah (broken home), dan tidak
harmonis akan menyebebkan anak tidak kerasan tinggal di rumah. Anak
tidak mersa aman dan tidak mengalami perkembangan emosional yang
seimbang. Akibatnya, anak mencari bentuk ketentraman di luar keluarga,
misalnya gabung dalam group gang, kelompok preman dan lain-lain. Banyak
keluarga yang tak mau tahu dengan perkembangan anak-anaknya dan
menyerahkan seluruh proses pendidikan anak kepada sekolah. Kiranya
keliru jika ada pendapat yang mengatakan bahwa tercukupnya
kebutuhan-kebutuhan materiil menjadi jaminan berlangsungnya perkembangan
kepribadian yang optimal bagi para remaja.
Kedua, bagaimana pembinaan moral dalam lembaga keluarga, sekolah, dan masyarakat.
Kontras tajam antara ajaran dan teladan nyata dari orang tua, guru di
sekolah, dan tokoh-tokoh panutan di masyarakat akan memberikan pengaruh
yang besar kepada sikap, perilaku, dan moralitas para remaja. Kurang
adanya pembinaan moral yang nyata dan pudarnya keteladanan para orangtua
ataupun pendidik di sekolah menjadi faktor kunci dalam proses
perkembangan kepribadian remaja. Secara psikologis, kehidupan remaja
adalah kehidupan mencari idola. Mereka mendambakan sosok orang yang
dapat dijadikan panutan. Segi pembinaan moral menjadi terlupakan pada
saat orang tua ataupun pendidik hanya memperhatikan segi intelektual.
Pendidikan disekolah terkadang terjerumus pada formalitas pemenuhan
kurikulum pendidikan, mengejar bahan ajaran, sehingga melupakan segi
pembinaan kepribadian penanaman nilai-nilai pendidikan moral dan
pembentukan sikap.
Ketiga, bagaimana kehidupan sosial ekonomi keluarga dan masyarakat apakah mendukung optimalisasi perkembangan remaja atau tidak.
Saat ini, banyak anak-anak di kota-kota besar seperti Jakarta sudah
merasakan kemewahan yang berlebihan. Segala keinginannya dapat dipenuhi
oleh orangtuanya. Kondisi semacam ini sering melupakan unsur-unsur yang
berkaitan dengan kedewasaan anak. Pemenuhan kebutuhan materiil selalu
tidak disesuaikan dengan kondisi dan usia perkembangan anak. Akibatnya,
anak cenderung menjadi sok malas, sombong, dan suka meremehkan orang
lain.
Keempat, bagaimana lembaga pendidikan di sekolah
dalam memberikan bobot yang proposional antara perkembangan kognisi,
afeksi, dan psikomotor anak.
Akhir-akhir ini banyak dirasakan beban tuntutan sekolah yang terlampau
berat kepada para peserta didik. Siswa tidak hanya belajar di sekolah,
tetapi juga dipaksa oleh orangtua untuk mengikuti kegiatan
ekstrakurikuler di sekolah dan mengikuti les tambahan di luar sekolah.
Faktor kelelahan, kemampuan fisik dan kemampuan inteligensi yang
terbatas pada seorang anak sering tidak diperhitungkan oleh orangtua.
Akibatnya, anak-anak menjadi kecapaian dan over acting, dan mengalami
pelampiasan kegembiraan yang berlebihan pada saat mereka selesai
menghadapi suasana yang menegangkan dan menekan dalam kehidupan di
sekolah.
Kelima, bagaimana pengaruh tayangan media massa baik
media cetak maupun elektronik yang acapkali menonjolkan unsur kekerasan
dan diwarnai oleh berbagai kebrutalan.
Pengaruh-pengaruh tersebut maka munculah kelompok-kelompok remaja,
gang-gang yang berpakaian serem dan bertingkah laku menakutkan yang
hampir pasti membuat masyarakat prihatin dan ngeri terhadap
tindakan-tindakan mereka. Para remaja tidak dipersatukan oleh suatu
identitas yang ideal. Mereka hanya himpunan anak-anak remaja atau
pemuda-pemudi, yang malahan memperjuangkan sesuatu yang tidak berharga
(hura-hura), kelompok yang hanya mengisi kekosongan emosional tanpa
tujuan jelas.
Apa Jalan Keluar Kita?
Siswa-siswi SLTP/SLTA adalah siswa-siswi yang berada dalam golongan
usia remaja, usia mencari identitas dan eksistensi diri dalam kehidupan
di masyarakat. Dalam proses pencarian identitas itu, peran aktif dari
ketiga lembaga pendidikan akan banyak membantu melancarkan pencapaian
kepribadian yang dewasa bagi para remaja. Ada beberapa hal kunci yang
bisa dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan.
Pertama, memberikan kesempatan untuk mengadakan dialog untuk menyiapkan jalan bagi tindakan bersama.
Sikap mau berdialog antara orangtua, pendidik di sekolah, dan masyarakat
dengan remaja pada umumnya adalah kesempatan yang diinginkan para
remaja. Dalam hati sanubari para remaja tersimpan kebutuhan akan
nasihat, pengalaman, dan kekuatan atau dorongan dari orang tua. Tetapi
sering kerinduan itu menjadi macet bila melihat realitas mereka dalam
keluarga, di sekolah ataupun dalam lingkungan masyarakat yang tidak
memungkinkan karena antara lain begitu otoriter dan begitu bersikap
monologis. Menyadari kekurangan ini, lembaga-lembaga pendidikan perlu
membuka kesempatan untuk mengadakan dialog dengan para remaja, kaum muda
dan anak-anak, entah dalam lingkungan keluarga, sekolah maupun
masyarakat.
Kedua, menjalin pergaulan yang tulus.
Dewasa ini jumlah orang tua yang bertindak otoriter terhadap anak-anak
mereka sudah jauh berkurang. Namun muncul kecenderungan yang sebaliknya,
yaitu sikap memanjakan anak secara berlebihan. Banyak orang tua yang
tidak berani mengatakan tidak terhadap anak-anak mereka supaya tidak
dicap sebagai orangtua yang tidak mempercayai anak-anaknya, untuk tidak
dianggap sebagai orangtua kolot, konservatif dan ketinggalan jaman.
Ketiga, memberikan pendampingan, perhatian dan cinta sejati.
Ada begitu banyak orangtua yang mengira bahwa mereka telah mencintai
anak-anaknya. Sayang sekali bahwa egoisme mereka sendiri
menghalang-halangi kemampuan mereka untuk mencintaianak secara sempurna.
“Saya telah memberikan segala-galanya”, itulah keluhan seorang ibu yang
merasa kecewa karena anak-anaknya yang ugal-ugalan di sekolah dan di
masyarakat. Anak saya anak yang tidak tahu berterima kasih, katanya.
Yang perlu dipahami bahwa setiap individu memerlukan rasa aman dan
merasakan dirinya dicintai. Sejak lahir satu kebutuhan pokok yang yang
pertama-tama dirasakan manusia adalah kebutuhan akan “kasih sayang” yang
dalam masa perkembangan selanjutnya di usia remaja, kasih sayang, rasa
aman, dan perasaan dicintai sangat dibutuhkan oleh para remaja. Dengan
usaha-usaha dan perlakuan-perlakuan yang memberikan perhatian, cinta
yang tulus, dan sikap mau berdialog, maka para remaja akan mendapatkan
rasa aman, serta memiliki keberanian untuk terbuka dalam mengungkapkan
pendapatnya.
Lewat kondisi dan suasana hidup dalam keluarga, lingkungan sekolah,
ataupun lingkungan masyarakat seperti di atas itulah para remaja akan
merasa terdampingi dan mengalami perkembangan kepribadian yang optimal
dan tidak terkungkung dalam perasaan dan tekanan-tekanan batin yang
mencekam. Dengan begitu gaya hidup yang mereka tampilkan benar-benar
merupakan proses untuk menemukan identitas diri mereka sendiri yang
sebenarnya.
No comments:
Post a Comment